Sertifikasi halal dan titik kritis pengolahan pangan
Beberapa bulan lalu saya sempat menulis di Facebook mengenai menu makanan halal yang dikembangkan di kampus saya untuk pasien muslim di rumah sakit Jepang. Kemudian om saya yang telah menjadi auditor Halal selama 18 tahun membacanya dan memberikan beberapa rujukan mengenai Sistem Jaminan Halal, dan Kebijakan dan Prosedur Sertifikasi Halal (HAS 23000:2) yang diterbitkan oleh BPPOMMUI. Kira-kira, dari tinjauan ilmu pangan apa saja yang menjadi titik kritis dalam produk pangan untuk mejamin halal tidaknya? Saya mencoba menyadur dari salah satu materi mengenai pengetahuan bahan.
Populasi muslim di dunia sebesar 29.04% dari populasi dunia atau sekitar 2.22 miliar juta jiwa (muslimpopulation.com, 2018). Di Indonesia, populasi muslim di Indonesia sebesar 88% dari 265 juta jiwa atau sekitar 233 juta jiwa. Populasi yang besar ini jelas merupakan sebuah pasar yang besar untuk produk-produk halal.

Babi dan produk turunannya
Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa Hukum halal/haram itu terbagi dua yaitu perbuatan dan benda. Khusus untuk benda inilah yang menjadi dasar dalam sertifikasi Halal, Semua hukum untuk asal benda adalah mubah (boleh) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan untuk makanan/minuman dan benda yang haram itu telah jelas tertulis di Al-Quran yaitu bangkai, darah, daging babi, binatang buas, hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, dan khamr atau minuman beralkohol.
Asal bahan makanan, obat, dan kosmetik itu berasal dari hewan, tumbuhan, mikroba, dan bahan lain seperti mineral, sintetik atau campuran. Tiap bahan hewani memiliki titik kritis untuk menjadi tidak halal, inilah yang akan dicek oleh para auditor halal.
Bahan hewani
Gelatin
Gelatin adalah salah satu produk turunan hewani yang dapat dapat diekstrak dari kulit, atau tulang rawan babi, sapi atau ikan. Gelatin banyak digunakan oleh industri pangan karena sifat emulsifiernya, pembentukan gel, pengental, adhesive agent, penstabil makanan, atau pembentuk foam/whipping.
Lemak
Lemak dan turunannya juga banyak digunakan dalam industri pangan, obat dan kosmetik. Gliserol atau gliserin (Kode E422) adalah turunan lemak yang biasa berguna sebagai pelarut untuk flavor atau humektan. Selain itu asam lemak dan turunannya (Kode E430 – 436), ester asam lemak (E470-E495) dan magnesium stearat juga merupakan dari lemak yang biasa digunakan sebagai pengemulsi, penstabil atau anti kempal. Dalam inspeksi produk halal, jika suatu produk dalam pengolahannya menggunakan salah satu bahan ini, maka akan ditelusuri lagi dari mana sumber bahan tersebut.

Titik kritis (TK) halal pada produk dari bahan hewani. Sumber: Modul pelatihan calon auditorL PPOMMUI, 2018
Darah dan turunan protein
Darah sudah jelas termasuk bahan haram. Produk turunan dari darah seperti tepung plasma dan fibrinogen biasa digunakan sebagai pembentukan gel pada produk daging, menggantikan fungsi albumin telur pada pembuatan cake. Selain itu produk turunan lain yaitu konsentrat globin yang biasa digunakan sebagai daging buatan untuk pembuatan patty. Darah juga dapat digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba, contohnya blood agar.
Penggunaan beberapa turunan protein, asam amino juga sudah jelas menjadi salah satu titik kritis dari pengolahan produk halal. Asam amino sistein biasa digunakan dalam pembuatan flavor dan pengembang roti. Kemudian asam amino fenilalanin biasa digunakan sebagai bahan penyusun aspartam.
Susu
Produk turunan susu dari sapi, domba atau unta juga dapat menjadi tidak halal jika misalnya diubah menjadi keju dan menggunakan penggumpal berupa asam atau mikroba atau enzim yang bersumber dari bahan haram. demikian pula hasil samping dari produk pembuatan keju seperti laktosa, whey, dan kasein yang dihasilkan.

Produk susu dan turunannya dari proses fermentasi pembuatan keju
Telur
Bagaimana dengan produk telur?. Pada produk tepung putih telur, untuk mencegah browning (baca disini mengenai browning) biasa ditambahnkan enzim gluko-oksidase yang perlu ditelusuri sumber atau media tumbuh mikrobanya. Demikian pula untuk produk turunan dari ikan, udang, dll yang harus diperhatikan bahan tambahannya seperti gelatin atau pemambahan MSG.
Bulu/rambut
Bukan hanya daging, kulit, atau tulang saja yang menjadi perhatian. Bulu/rambut hewan yang digunakan sebagai kuas pengoles pada pembuatan roti atau cake juga bisa menjadi penentu halal tidaknya suatu produk jika bulu/rambut yang digunakan dari binatang yang dilarang atau diharamkan.
Lantas bagaimana dengan produk nabati? apakah juga memiliki titik kritis? saya akan menulisnya dalam artikel yang berbeda (baca disini)
Salam,
Februadi
Seorang dosen Ilmu pangan di Universitas Hasanuddin. Saat ini sedang kuliah S3 dengan topik penelitian Natural Compound di Okayama Pref. University Japan.
Tulisannya juga dapat dibaca di februadibastian.blogspot.com
Pingback : Sertifikasi halal dan titik kritis pengolahan pangan (2) | filsafood