Diabetes, takutlah pada gula bukan hanya pada micin
Diabetes, takutlah pada gula bukan hanya pada micin. Beberapa minggu lalu saya mengikuti konfrens para ahli nutrisi dan ilmu pangan se-Jepang di Okayama. Pelaksananya adalah kampus tempat saya sekarang. Biasanya kalau ada kegiatan begini di kampus saya baito (part time job) untuk jadi tukang foto-fotonya, tapi untuk kali ini saya jadi peserta. hehehe
Ini adalah konfrens ke-72 yang dilakukan setiap tahun untuk sharing dan mengupdate hasil-hasil penelitian mengenai nutrisi dan ilmu pangan di Jepang. Kurang lebih dua ribu peserta hadir di kegiatan ini, dan sekitar seribu lima ratus hasil penelitian di paparkan dalam sesi oral dan poster. Dalam kegiatan ini ada beberapa sesi kuliah umum yang sudah jelas dibawakan dalam bahasa nenek moyang orang Jepang. Bersyukur karena ada salah satu sesi yang semua pembicaranya berasal dari luar Jepang dan pastinya menggunakan bahasa Inggris. Sayapun memilih sesi ini untuk saya ikuti.
Diabetes dan obesitas
Dalam satu sesi materi mengenai regulasi pangan untuk konsumen Dr. David N Cox peneliti dari CSIRO memaparkan data-data angka diabetes dan obesitas. Secara global, sekitar 422 juta orang dewasa (8.5% dari populasi orang dewasa) di dunia mengidap diabetes di tahun 2014. Dibandingkan tahun 1980 yaitu sekitar 180 juta orang dewasa (4.7% dari populasi orang dewasa).
Saya kemudian mencari tau kondisi penderita diabetes di Indonesia serta posisinya di dunia. Dan.. eng ing eng.. Dari data International Diabetes Federation (idf.org), cukup membanggakan eh mengagetkan bahwa Penderita diabetes di Indonesia adalah peringkat ke-6 di dunia, peringkat ke-3 di asia, dan peringkat pertama di Asia tenggara. Jumlah pengidap diabetes kurang lebih 10 juta jiwa (sekitar 6% dari jumlah penduduk). Jadi jangan heran jika populasi orang bermulut manis semakin meningkat di Indonesia apalagi menjelang pilkada, hehehe.
Tapi saya heran juga karena jika dibandingkan dengan US yang peringkat ke-3 pengidap diabetes di dunia angka konsumsi gulanya memang tinggi bahkan no-1 di dunia. Sedangkan Indonesia hanya peringkat ke-52. Bahkan tidak ada satu data pun yang menyebutkan konsumsi gula orang Indonesia masuk 10 atau 5 besar. Di Amerika tiap orang rata-rata dapat mengkonsumsi gula sebanyak 126 gram/hari, sedangkan di Indonesia hanya rata-rata 15 gram/hari.
Produk gula dimana-mana
Apakah ini sebuah paradox? Padahal kalau kita melihat, produk sirup di Indonesia sangat laris manis semanis sirupnya. Sirup yang merupakan konsentrat gula sangat digandrungi dibandingkan juice. Bahkan ada juga yang bilang sirup itu sama denga juice buah yang diproduksi pabrik hehehehe. Masih mending kalau perasanya dari ekstrak buah, nah ini kebanyakan dari essens sintetik untuk menghasilkan flavor buah.
Belum lagi salah kaprah susu kental manis yang dianggap satu keluarga dengan susu dan selalu disama-samakan. Padahal kalau ditelisik struktur DNA nya, susu kental manis itu adalah keturunan dari sirup yang terdiri dari konsentrat gula yang dicampur susu. Masih mending kalau susu, krn ada juga yang hanya cream saja. Susu jika di evaporasi tidak akan mendapatkan struktur fluida seperti itu. Jadi sebenarnya susu kental manis itu adalah sirup rasa susu, yang lagi-lagi bahan utamanya adalah gula.
Satu lagi, selera nusantara menikmati teh, kopi atau coklat berbeda dengan selera orang Jepang yang minum teh, kopi, atau coklat tanpa penambahan gula. Orang Indonesia sebenarnya tidak meminum teh atau kopi, tapi meminum air gula rasa teh, atau air gula rasa kopi. Teh atau kopi orang Indonesia rasa gulanya lebih berkuasa dibandingkankan teh atau kopinya. Begitu juga jika minum jus buah atau minum susu sekalian. Tapi masih untung karena minum air putihnya masih tetap tanpa penambahan gula.
“Orang Indonesia bukan minum teh atau kopi, tapi minum air gula rasa teh atau kopi”
Pola konsumsi
Selain itu pendidikan kita tidak concern memberikan edukasi mengenai cara bagaimana menghitung kebutuhan kalori dan mengkonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan kalori. Anak saya yang sekarang kelas tiga di Jepang sudah mulai diajarkan mengenai menghitung kalori makanan pada saat lunch program di sekolah.
Pola konsumsi kita masih high carbo, low serat dan protein. Banyak faktor penyebabnya, mulai dari mindset bahwa kita belum makan jika belum makan nasi. Bisa juga karena dari selera lidah kita misalnya indomie goreng paling enak dimakan pake nasi, atau bisa juga disebabkan oleh faktor ekonomi.
Untuk faktor ekonomi, dalam laporan WHO juga disebabkan bahwa di semua range umur, orang dengan pendapatan menengah ke bawah adalah populasi tertinggi pengidap diabetes. Jika dihubungkan dengan pola konsumsinya memang memiliki hubungan dengan pola asupan menu harian yang high carbo.
MICIN alias VETSIN alias MSG
Kembali ke konference ahli nutrisi dan ilmu pangan se-Jepang tadi. Ternyata salah satu sponsor kegiatan ini adalah Ajinomoto. Produsen micin terbesar di Jepang ini yang mengisi satu halaman full cover belakang proceeding konfrens tersebut. Jadi jangan heran, MSG disini bukan dianggap sebagai makanan yang berbahaya.
MSG sendiri awalnya berasal dari rasa penasaran ilmuan Kikunae Ikeda pada rasa gurih sup rumput laut, yang di Jepang biasa disebut dashi. Dashi yang tidak mengandung daging berasa seperti daging. Ikeda kemudian mengisolasi senyawa berbentuk kristal yang terdiri dari garam Sodium (Na) dan asam glutamat, salah satu jenis asam amino.
Pro-kontra penggunaan micin masih saja terjadi. Perdebatannya hampir sama dengan perbebatan si cebong dan si kampretz. Kalau saya sih asik-asik saja makan micin, yang penting jangan lewat dari stengah sendok teh perhari. Ada juga yang sudah tidak mau menggunakan micin dan beralih ke masako atau royco dan ada juga yang beralih ke totole yang dari jamur, padahal kala mau ditingkat lagi ilmu IQRAnya semuanya masih mengandung MSG alias micin.
Ada juga produsen yang mencoba mengelabui konsumen denga menuliskan No MSG, tapi mengandung Mono Natrium Glutamat.. jiahhhh… apa bedanya Sodium dan Natrium bang???
MSG jika terurai akan menjadi Na dan glutamat, semuanya dibutuhkan oleh tubuh, tomat dan bahkan ASI pun mengandung asam amino glutamat ini. Yang masalah karena ada orang yang hiper sensitif pada rangsangan glutamat pada reseptor di lidah, atau ion Na yang dapat memacu tekanan darah.
Pro kontra Micin
Perdebatan pro-kontra MSG juga masih berlangsung di kalangan peneliti. Daripada pusing membaca satu persatu hasil penelitian mengenai MSG di PubMed, saya memilih membaca beberapa hasil review penelitian-penelitian tersebut. Sampai saat inipun masih simpang siur antara aman atau tidaknya, namun hampir semua berkesimpulan aman dalam batas kadar konsumsi tertentu.
Saya juga melihat beberapa penelitian yang mengatakan MSG berbahaya menggunakan asupan MSG yang sangat berlebihan pada hewan percobaannya, ada yang memberikan asupan 4 g/kg berat badan, sedangkan untuk manusia saja cukup 2 g/orang perhari. Yah jelaslah tikus percobaannya akan mabok Micin dengan dosis setinggi itu.
Diabetes dapat menyebabkan penyakin kompilasi lainnya seperti kerusakan pembuluh mata, kardivakular, kanker, ginjal atau obesitas, sedangkan efek micin yang dilaporkan yaitu sakit kepala, alergi, kerusakan hati, dan obesitas.
DI PubMed, salah satu tempat berkumpulnya jurnal-jurnal penelitian medis, Jumlah yang meneliti diabetes (628597 jurnal penelitian) lebih tinggi dibandingkan micin dan (8392 jurnal). Artinya para peneliti lebih serius dan lebih takut pada efek yang ditimbulkan oleh diabetes yang telah menjadi penyakit tidak menular No-4 tertinggi di dunia saat ini.
Jadi jangan hanya takut pada micin. Gula yang memberikan kemanisan justru lebih bahaya dan lebih perlu ditakuti. Kebiasan minum teh yang pekat atau kopi yang pahit akan membuat diri lebih terbiasa pada pekat dan pahitnya kehidupan. hehehe
padahal saya suka micin